logo-website
Sabtu, 27 Sep 2025,  WIT

Penangkapan Pelaku Penghasutan Dinilai Sesuai Hukum

Dr. Alpi Sahari: Langkah Kepolisian Bukan Ancaman Kebebasan Sipil, Melainkan Upaya Melindungi Kepentingan Umum dan Hak Anak

Papuanewsonline.com - 06 Sep 2025, 21:50 WIT

Papuanewsonline.com/ Hukum & Kriminal

Papuanewsonline.com, Jakarta – Penangkapan pelaku penghasutan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menuai berbagai tanggapan dari masyarakat. Namun, langkah hukum tersebut dinilai sah dan sesuai prosedur, serta tidak dapat diartikan sebagai bentuk pembatasan kebebasan sipil.


Pandangan ini disampaikan oleh Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Dr. Alpi Sahari, SH., M.Hum., yang menegaskan bahwa tindakan kepolisian sepenuhnya berada dalam koridor hukum positif Indonesia.

“Penangkapan ini tidak bisa dipandang sebagai pengambinghitaman ataupun pelanggaran due process of law. Justru sebaliknya, tindakan ini dilakukan untuk melindungi kepentingan umum sekaligus menjamin perlindungan hak-hak anak sebagaimana diatur dalam undang-undang,” ujar Dr. Alpi, yang juga pernah diminta Kejaksaan Agung RI sebagai ahli di Mahkamah Agung dalam kasus Peninjauan Kembali terpidana Jesicca Wongso.

Lebih jauh, Dr. Alpi menjelaskan bahwa dalam hukum pidana Indonesia, tindakan paksa seperti penangkapan hanya dapat dilakukan jika memenuhi unsur-unsur yang diatur, antara lain asas nullum delictum nulla poena sine lege. Menurutnya, langkah ini sejalan dengan crime control model, yakni upaya negara untuk mengendalikan tindak kejahatan.

Ia juga menyoroti prinsip equitas sequitur legem, yang menekankan bahwa keadilan harus berjalan mengikuti hukum. Dalam kerangka ini, penegakan hukum bukanlah ancaman terhadap kebebasan sipil, tetapi instrumen untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan masyarakat luas.

“Jika ada narasi yang menyebut penangkapan ini sebagai kriminalisasi atau upaya membungkam kebebasan berpendapat, itu terlalu prematur dan bisa menyesatkan opini publik. Mekanisme pengawasan hukum sudah diatur dalam undang-undang. Justru narasi semacam itu berpotensi mendegradasi institusi penegak hukum,” jelasnya.

Dalam kasus ini, penyidik menjerat pelaku dengan sejumlah pasal, antara lain Pasal 160 KUHP, serta Pasal 87 Jo Pasal 76H Jo Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, turut diterapkan Pasal 45A ayat (3) Jo Pasal 28 ayat (3) UU ITE sebagaimana telah diperbarui melalui UU Nomor 1 Tahun 2024.

Penerapan pasal-pasal tersebut menandakan adanya dugaan eendaadse samenloop atau meerdadse samenloop, yang membedakan antara perbuatan yang dilakukan dalam satu rangkaian dengan beberapa perbuatan terpisah.

Dr. Alpi menegaskan, istilah penghasutan (opruien) dalam hukum pidana memiliki makna yang spesifik dan tidak dapat disamakan dengan sekadar ajakan atau anjuran biasa.
“Penghasutan memiliki intensi kuat mendorong orang lain melakukan kejahatan. Tidak perlu ada tindak pidana yang benar-benar terjadi untuk menyatakan delik ini selesai. Namun, pasca putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, harus dibuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan menghasut dan akibat yang ditimbulkan,” tegasnya.

Dengan demikian, menurut Dr. Alpi, tindakan kepolisian ini bukan sekadar upaya represif, melainkan bentuk perlindungan terhadap masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti anak-anak, dari dampak serius kejahatan yang mungkin terjadi akibat penghasutan.

“Ini adalah bagian dari tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan hukum bagi seluruh warga negara. Penegakan hukum yang tegas justru menjadi benteng kebebasan sipil yang sehat, karena kebebasan tidak boleh dipakai untuk merugikan kepentingan umum,” pungkasnya. (GF)

Bagikan berita:
To Social Media :
Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE